Sahroel Polontalo

Sahroel Polontalo

4p

3 comments posted · 32 followers · following 0

9 years ago @ http://www.dsdan.go.id/ - Air Telah Menjadi Perh... · 0 replies · +1 points

Sumber: https://groups.yahoo.com/neo/groups/rimbawan-inte...

Konsep Ekohidrolik untuk Menanggulangi Banjir

Agus Maryono, 16 Februari 2003

BANJIR kembali terjadi di berbagai kawasan Nusantara. Penanganan banjir memang tidak bisa diselesaikan dengan metode-metode konvensional lagi.

Metode konvensional itu adalah membuat sodetan sungai, normalisasi sungai, pembuatan tanggul, pembuatan talut dan segala macam konstruksi sipil keras lainnya. Padahal, metode ini sudah lama ditinggalkan di negara maju.

Metode penyelesaian banjir yang ingin dibahas di sini adalah ecological hydraulics (ekohidrolik). Konsep ini sangat berbeda dengan konsep konvensional yang juga disebut hidrolik murni.

Konsep ekohidrolik dalam penyelesaian banjir bertitik tolak pada
penanganan penyebab banjir secara integral, sedang konsep
konvensional hidrolik murni bertolak pada penanganan dampak banjir secara lokal.

Konsep ekohidrolik memasukkan dan mengembangkan unsur ekologi atau lingkungan dalam penyelesaian banjir, sementara konsep hidrolik murni justru merusak dan menghancurkan lingkungan untuk mengatasi banjir.

Konsep hidrolik murni melihat banjir sebagai bukti daya rusak air
yang hebat, sementara ekohidrolik melihat fenomena banjir sebagai akibat kerusakan lingkungan sehingga hilangnya daya retensi lingkungan terhadap banjir.

PENYELESAIAN dengan konsep konvensional yaitu dengan sodetan,
pelurusan, pembuatan tanggul, pengerasan tebing (talutisasi),
normalisasi, maupun pembabatan vegetasi bantaran, telah diakui oleh sebagian besar ahli hidro dunia justru akan menciptakan bahaya banjir yang lebih besar dan frekuensi banjir yang lebih sering. Cara ini menyebabkan kerusakan yang sangat serius bagi ekologi sungai secara keseluruhan sehingga fungsi hidrolik dan ekologis sungai hancur.

Pelurusan, sodetan, dan tanggul misalnya, memicu kecenderungan banjir di hilir lebih tinggi dan menurunkan tingkat retensi di sepanjang sungai sehingga konservasi air akan menurun drastis.

Kekeringan akan lebih intensif karena pelurusan, tanggul dan sodetan berarti pengaturan air secepatnya ke hilir sehingga air tidak sempat meresap ke tanah. Tata air di sepanjang sungai yang diluruskan, disodet atau ditanggul jadi rusak total.

Bekas-bekas sungai atau sungai lama yang terpotong (oxbow) akan menimbulkan masalah baru, misalnya terbentuknya sarang nyamuk dan lambat laun menjadi dangkal.

Biasanya masyarakat akan menyerbu daerah oxbow untuk dijadikan daerah hunian atau pertanian, karena menjadi daerah tak bertuan. Banjir dapat mengancam lagi di daerah oxbow-seperti di Jawa timur beberapa waktu lalu-karena di daerah oxbow praktis tidak ada air yang mengalir keluar.

Sodetan di daerah hilir (wilayah pantai) menyebabkan instabilitas
garis pantai. Di daerah muara sungai lama akan terjadi abrasi besar-besaran dan di muara sodetan baru akan terbentuk reklamasi yang cepat (contoh konkret adalah abrasi di pantai utara Jawa seperti di daerah Cirebon).

DI Jerman, beberapa negara Eropa lainnya serta Jepang, sudah
meninggalkan konsep kuno hidrolik murni dan masuk era ecological hydraulic. Konsep yang dimulai tahun 80-an ini sudah sampai tahap implementasi dengan banyaknya proyek-proyek renaturalisasi atau restorasi sungai.

Program renaturalisasi di antaranya adalah dengan membelok-belokkan lagi sungai yang dulu diluruskan; mengganti usulan pelurusan, sodetan, tanggul dan pembuatan talut sungai dengan proyek reboisasi dan renaturalisasi sempadan sungai; menghidupkan oxbow sungai lama dengan membuka tanggul pelurusan yang membatasinya, memelihara kealamiahan sungai-sungai menengah dan kecil dan mengonservasi sungai-sungai besar yang masih alami.

Ironisnya, kita di Indonesia justru sedang ramai-ramainya menyodet, meluruskan, menanggul, dan membeton dinding sungai besar-besaran (contoh konkret Bengawan Solo, Citandui, Cimeneng, Citarum, Brantas, dan Code).

Dalam penanggulangan banjir dengan konsep ekohidrolik, kunci pokok penyelesaian banjir adalah: Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Wilayah Sungai (WS), Sempadan Sungai (SS) dan Badan Sungai (BS) harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem dan ekosistem ekologi-hidrolik yang integral. Oleh karena itu, penyelesaian banjir harus dilakukan secara komprehensif dengan metode menahan atau meretensi air di DAS bagian hulu, tengah dan hilir; serta menahan air di sepanjang wilayah sungai, sempadan sungai, dan badan sungai di bagian hulu tengah dan
hilir.

Intinya adalah meretensi air dari hulu hingga hilir secara merata.
Cara ini sekaligus menanggulangi kekeringan suatu kawasan atau DAS, karena sebenarnya banjir dan kekeringan merupakan hal yang berkaitan dan saling memperparah.

PENANGANAN banjir dengan konsep ekohidrolik secara konkret dimulai dari DAS bagian hulu dengan reboisasi atau konservasi hutan untuk meningkatkan retensi dan tangkapan di hulu. Selanjutnya reboisasi juga mengarah ke DAS bagian tengah dan hilir. Secara selektif membangun atau mengaktifkan situ atau embung-embung alamiah di DAS yang bersangkutan.

Jangan membuat pelurusan, sodetan, atau tanggul, karena cara-cara ini bertentangan dengan kunci utama retensi banjir. Sungai yang ber-meander (berliku-liku) justru di dipertahankan sehingga dapat menyumbangkan retensi dan mengurangi erosi.

Komponen retensi alamiah di wilayah sungai, di sepanjang sempadan sungai dan badan sungai justru ditingkatkan dengan cara menanami atau merenaturalisasi kembali sempadan sungai yang telah rusak, memfungsikan daerah genangan atau polder alamiah disepanjang sempadan sungai dari hulu sampai hilir untuk menampung air.

Melihat kejadian banjir yang bertubi-tubi saat ini, tampaknya konsep ekohidrolik perlu segera diimplementasikan.
(Dr Ing Ir Agus Maryono Dosen Fakultas Teknik UGM, Sekjen ASEHI, peneliti sungai)

9 years ago @ http://www.dsdan.go.id/ - Air Telah Menjadi Perh... · 0 replies · +1 points

Mohon perhatian Dewan Sumber Daya Air Nasional tentang rencana normalisasi Ciliwung yang akan membeton Ciliwung. Semangat PP No.38 Tahun 2011 tentang Sungai adalah memperlakukan sungai sebagai sebuah ekosistem. Karena itu salah satu fungsi sungai adalah pembangkit utama ekosistem flora dan fauna. Penjelasan PP 38/2011 adalah: "Fungsi sungai sebagai pembangkit utama ekosistem flora dan fauna perlu dijaga agar tidak menurun. Ekosistem flora dan fauna meliputi berbagai jenis tumbuh-tumbuhan tepian sungai dan berbagai jenis spesies binatang. Spesies binatang di sungai meliputi antara lain: cacing (invertebrata), siput (mollusca), kepiting (crustacea), katak (amphibia), kadal (reptilia), serangga (insect), ikan (fish), dan burung (avian).

Dengan membeton Ciliwung, maka itu artinya merusak ekosistem sungai Ciliwung sebagai sungai alami. Padahal ada alternatif lain untuk pengendalian banjir Ciliwung selain normalisasi yang justru merusak fungsi sungai.

13 years ago @ http://www.dsdan.go.id/ - Pansus WS, Masih Bahas... · 1 reply · +1 points

Dari komentar Pak Siswoko, saya masih kabur apa sebenarnya posisi sikap Bapak tentang WS 6-Ci yang bapak sampaikan ke Menteri PU. Mungkin ada baiknya posisi sikap itu diungkapkan ke publik sebagai ikhtiar pencerdasan publik tentu saja dengan alasan-alasannya dan tafsiran bapak tentang aturan yang ada. Informasi sepintas yang saya peroleh, ada yang mempertahankan pendekatan 6-Ci sebagai satu WS dan ada yang menginginkan menjadi 3 WS. Informasi dari Sekretaris Dewan SDA ketika PKM 1 TKPSDA Ciliwung Cisadane kemarin (12 Okt), usulan dari menteri PU yang dibahas oleh DSDA adalah menjadi 3 WS. Apa pun keputusannya, kita menunggu alasan pembenarnya.